![]() |
Sumber foto: Tribunnews |
Membaca Dilema Bangsa
Hari ini bangsa Indonesia sedang mengalami dilema. Bagaimana tidak, negeri yang kaya raya ini mendapati 28,01 juta penduduknya hidup dibawah garis kemiskinan (BPS, Maret 2016). Angka tersebut terdiri dari 10,34 juta (7,79 persen) di perkotaan dan 17,67 juta (14,11 persen) di perdesaan.
Akibat kemiskinan itu pula hasil penelitian Organisasi Pangan Dunia (FAO) menemukan sekitar 19,4 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, seperti papua, NTT dan Maluku (FAO, 2015).
Pada Desember 2015, situs resmi WorldBank mengunggah temuannya bahwa antara tahun 2003 hingga 2010, masyarakat 10% terkaya di Indonesia mempertambah konsumsi mereka sebesar 6% pertahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Sedangkan 40% masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh hanya kurang dari 2% pertahun. Temuan tersebut menunjukkan bahwa potensi kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia sangat terbuka lebar.
Di sisi lain, krisis moral juga semakin memprihatinkan. Data registrasi POLRI mengungkapkan pada tahun 2013 lalu telah terjadi 342.000 kasus kejahatan dengan 2.430.000 orang menjadi korban. Sedangkan, konflik massal pada tahun 2011 terjadi di sekitar 2.500 desa/kelurahan (Statistik Kriminal, 2014).
Sementara itu, Komnas Perempuan melansir data yang menyebut selama tahun 2015 terdapat 1.657 kasus perkosaan, 1.064 kasus pencabulan, 268 kasus pelecehan seksual dan 185 kasus kekerasan terhadap perempuan lainnya (Komnas Perempuan, Maret 2016).
Ditambah lagi, maraknya budaya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik. Data Indonesia Corruption Watch (ICW), menunjukkan sebanyak 755 kasus korupsi tengah ditangani lembaga penegak hukum. Sedangkan data Presiden yang disampaikan belum lama ini ada 362 terpidana kasus korupsi yang saat ini sudah dipenjara. Angka tersebut terdiri atas 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati atau wali kota, 130 pejabat eselon I sampai III, dan 4 jaksa hakim.
Kenyataan tersebut diperparah dengan penegakkan hukum yang lemah serta kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Hukum saat ini tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Hukum lebih tertarik untuk menangani kasus yang bersinggungan langsung dengan rakyat kecil, seperti kasus pencurian, penganiayaan dan sejenisnya. Sedangkan kasus sekala besar yang melibatkan para pejabat publik seakan ditunda-tunda proses hukumnya, misal pada kasus korupsi, suap dan sejenisnya.
Kondisi bangsa yang carut-marut tersebut tidak segera ditangani dengan memperbaiki sistem yang ada. Bahkan, pendidikan yang seharusnya menjadi ajang untuk membenahi, seakan menutup mata kepada realita dan tidak mampu mencari solusi kebuntuan ekonomi dan krisis moral yang terjadi.
Ditengah kondisi bangsa seperti ini, keberadaan umat Islam dipertanyakan. Dimanakah umat Islam sebagai umat mayoritas sekaligus tuan rumah negara?
Peran Umat Islam
Menurut teori Gujarat dan Persia, Islam masuk di Indonesia (dahulu Nusantara) pada abad ke-13 M. Sedangkan teori Arabia mengatakan Islam telah masuk sejak abad ke-7 Masehi di bagian utara Sumatera (Sjamsudduha, 1987 dalam Sukamto, 2008). Islam terus berkembang melalui budaya perdagangan, perkawinan bahkan kerajaan, kemudian menyatu dengan budaya masyarakat Indonesia.
Pada masa penjajahan Eropa dan Jepang, peran dan jasa umat Islam sangat besar hingga dapat mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Gerakan-gerakan serta tokoh-tokoh Islam menjadi pelopor proklamasi serta menggagas sebuah konsep negara bhinneka tunggal ika yang kemudian kita sebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berkat kegigihan dalam memperjuangkan kemerdekaan, atas berkat rahmat Allah Swt (lihat Pembukaan UUD 1945) umat Islam menjadi umat pemenang. Pasca kemerdekaan hingga saat ini umat Islam menjadi umat mayoritas. Saat ini, sekitar 85% penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam.
Krisis Umat Islam
Meskipun menjadi umat mayoritas, realita membuktikan bahwa negara ini masih jauh dari nilai ajaran agama Islam. Baldah tayyibah (QS. Saba’ : 15) yang merupakan cita-cita Islam dalam hal kenegaraan, belum dapat terwujud. Kontribusi umat Islam terhadap bangsa dan negara masih sangat lemah, baik dalam hal ekonomi maupun politik.
Di bidang ekonomi, Indonesia dikuasai non-Muslim. Orang muslim -yang mayoritas- hanya menjadi pekerja di perusahaan milik orang non-Muslim. Akibatnya, roda kehidupan bangsa digerakkan oleh non-muslim pemilik modal. Sedangkan umat Islam hanya menjadi penonton.
Sementara di bidang politik, partai politik (parpol) terutama parpol berhaluan Islam belum bisa menyalurkan aspirasi dan cita-cita umat Islam. Meskipun kursi-kursi dewan, kepala daerah, kabinet bahkan kepresidenan diduduki kaum muslim, namun hal tersebut belum mampu menjadi cara strategis mewujudkan visi umat Islam. Malahan, nama Islam diciderai oleh para pejabat atau politisi Islam yang tersandung kasus korupsi, suap maupun kejahatan lainnya.
Hal tersebut menimbulkan ketidakpercayaan umat Islam kepada kader parpol Islam. Sehingga tidak sedikit umat yang memisahkan antara urusan agama dan politik, demi menyelamatkan nama Islam dari perilaku buruk para politisi muslim. Padahal dalam teologi Islam agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena menurut pemahaman Islam, Kitab Suci Al-Qur’an memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik. Artinya, semua bidang kehidupan manusia harus dibimbing oleh petunjuk-petunjuk yang bersumber dari Al-Qur’an (Ma’arif, 1985 dalam Sukamto, 2008).
Membangun Eksistensi Umat Islam
Menurut Dedy Sumardi, eksistensi Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang dibangun umat Islam itu sendiri melalui kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan intelektualitas umatnya (Dedy Sumardi, Islam dan Politik Perspektif Sejarah). Oleh karenanya peran umat Islam untuk memperbaiki kondisi adalah dengan melakukan gerakan struktural dan kultural. Peran struktural adalah kontribusi umat Islam melalui struktur-struktur negara, seperti pemerintahan maupun partai politik. Sedangkan peran kultural merupakan peran umat Islam melalui jalur non-struktural, seperti lembaga, organisasi atau organisasi non-pemerintah sejenisnya.
Untuk itu, penting bagi umat Islam Islam untuk meningkatkan fungsi dan struktur dalam peranannya terhadap negara. Peniingkatan fungsi dapat dilakukan melalui proses edukasi yang bersifat ideologis, wawasan kenegaraan, maupun terapan, serta berkaca pada kesejarahan. Sedangkan penguatan struktur dilakukan dengan membangun sistem gerak serta jejaring yang solid dan sinergi.
Muhammadiyah, sebagai ormas Islam yang memiliki cita-cita mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, melalui penegakkan dan menjunjung tinggi ajaran agama Islam-menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (maksud dan tujuan Muhammadiyah)-, serta organisasi yang tidak hendak meninggalkan generasi yang lemah-dengan dibentuknya organisasi otonom, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah- harus mampu menjawab tantangan keumatan dan kebangsaan yang hari ini terjadi.
Oleh karena itu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah, memiliki visi yakni terbentuknya akademisi Islam yang berakhlaq mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah, merasa penting untuk berkontribusi melakukan edukasi ideologi-politik-organisasi (Ideopolitor) serta terus memperluas jaringan dan kerjasama dengan berbagai pihak, terutama umat Islam. Semua itu dilakukan demi memperjuangkan Islam, agar cita-cita masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Islam yang rahmatan lil ‘alamiin, membawa ke baldah tayyibah, dan menjadi khaira ummah.
Wallahu a’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar