Breaking

Jumat, 29 September 2017

Mengambil Hikmah 10 Muharram; Tragedi Sahara Nainawa



Terlepas dari fanatisme golongan dan isu yang muncul belakangan ini, ada fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Peristiwa yang terjadi pada 10 Muharram  tahun 61 Hijriah, jangan mudah dilupakan begitu saja oleh umat Islam. Wafatnya Al-Husain cucu Rasulullah Muhammad SAW di padang Karbala, menjadi bukti bagaimana kondisi perpecahan umat Islam pada zaman tersebut.

Zaman sebelum Islam (Jahiliyah)

Sebelum agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW datang, dunia dipenuhi oleh belenggu jahiliyah. Mulai dari spiritual, yakni kemusyrikan dan praktek penyembahan yang keliru, hingga moral manusia yang semena-mena berbuat kerusakan, ekploitasi serta kedzaliman.

Islam datang sebagai agama yang mencerahkan

Kemudian Agama Islam datang bersama Rasulullah SAW, untuk merevolusi kehidupan, dari jahiliyah menuju kecerahan (mina adz-dzulumaatiila an-nuur). Islam datang membenahi dimensi spiritual umat manusia dengan membersihkan manusia dari perilaku syirik (kembali ke tauhid) dan mengajarkan tata cara beribadah yang benar. Islam mengatur bagaimana hubungan manusia dengan Allah SWT (khablun mina Allah). Pada aspek moral, Islam mengajarkan konsep keadilan bagi seluruh umat manusia, keadilan antara laki-laki dan perempuan, keadilan antara pemimpin dan umatnya, keadilan ekonomi, social dan agama, hingga prinsip keadilan dalam rumah tangga juga diatur dalam Islam. Islam tidak mengenal diskriminasi ras, kasta, golongan kaya dan golongan miskin, golongan raja dan golongan budak, semua adalah sama dimata Allah SWT. Semua hukum-hukum keadilan tersebut tertuang dalam Ayat-ayat Allah (qauliyah dan kauniyah), dalam kitab suci Al-Qur’an dan telah dicontohkan pula oleh sang uswah hasanah, Rasulullah Muhammad SAW.

Tidak berhenti pada dua aspek diatas, bahwa Islam datang juga membawa pesan bagi umat manusia agar terus membaca, mencari ilmu dan pengetahuan. Sesuai pada ayat pertama yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Alaq, “bacalah ! (iqra’)”. Perintah membaca tersebut adalah sebagai bekal umat manusia agar dapat mengenal Tuhannya melalui ciptaan-ciptaan-Nya serta agar manusia dapat melaksanakan tugasnya sebgai Abdullah dan khalifatullah.

Perjuangan Rasulullah menyampaikan ajaran Islam

Usaha Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam tidaklah mudah, banyak rintangan keras dari kalangan yang ingin mempertahankan kepentingan individualnya dalam bidang agama, ekonomi dan politik. Tidak hanya perlawanan dari para pendeta (agamawan) Mekkah kuno, namun juga para pedagang-pedagang kaya yang sengaja menyerang dan berusaha melumpuhkan umat Islam melalui monopoli perdagangan dan konspirasi politik. Hingga pada akhirnya, Rasulullah dan para umat Islam harus hijrah ke Madinah. Dengan hijrah, Rasulullah mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshor sehingga dapat menghimpun ukhuwah dan kekuatan umat Islam, sehingga pada saat di Madinah-lah Nabi diizinkan oleh Allah untuk berperang demi menegakkan Agama Allah, dengan musuh-musuh Islam yang telah bersekutu. Dengan izin Allah, Rasulullah sebagai pemimpin Negara dan pemimpin Agama, dan para umatnya dapat membawa Madinah menjadi negeri yang berdaulat dan sejahtera.

Zaman Khulafaur-Rasyidin

Pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat, musuh-musuh Islam yang telah melakukan konsolidasi, berusaha meruntuhkan umat Islam. Sehingga Khalifah pertama, Abu Bakar harus berperang melawan para pemberontak yang tidak mengakui kekuasaan Islam. Abu Bakar berhasil menumpas para pemberontak, meskipun benih-benih para manusia yang mempertahankan kepentingan individunya masih tersisa. Hingga pada zaman Khalifah Umar, ketika kekhalifahan terlalu disibukkan dengan urusan eksternal, disinilah mulai tumbuh kembali kerusakan moral para kaum munafik yang mementingkan kepentingan individu. Mereka mulai menyusun kekuatan sehingga dapat memanfaat kekhalifahan Umar untuk menguntungkan mereka para tuan tanah. Pada zaman Utsman yang kurang tegas, sehingga menjadikan kelas-kelas para tuan tanah yang semakin kuat dan menimbulkan kontradiksi yang tajam antara para tuan tanah dan masyarakat yang masih menginginkan diterapkannya prinsip-prinsip Islam. Hingga pada puncaknya perseteruan tersebut membawa pada terbunuhnya Khalifah Utsman. Ali kemudian di bai’ah menjadi khalifah dalam keadaan umat yang sedang carut-marut. Ali berusaha membuat umat Islam kembali stabil dan tidak memperpanjang kasus terbunuhnya Utsman. Namun hal tersebut memicu munculnya fitnah yang menuduh pihak Ali-lah yang bertanggungjawab atas kematian Utsman.

Pada zaman Ali, umat Islam terpecah-belah menjadi dua golongan besar yang oposisi pada pemerintahannya. Pertama, golongan ekstrem kanan yang menentang diberlakukannya prinsip Islam yang revolusioner. Banyak orang kaya menumpuk-numpuk harta dan status istimewa. Sedangkan golongan satunya adalah ekstrem kiri yaitu golongan khawarij. Dua kelompok ini sangat kuat, sehingga dalam peperangan yang terjadi, Ali harus mengakhiri hayatnya secara tragis dibunuh oleh orang Khawarij.

Islam pasca Khulafaur-Rasyidin

Setelah zaman khulafaur-Rasyidin berakhir dengan wafatnya Ali, kemudian posisi Ali dilanjutkan oleh Hasan putra Ali. Namun juga belum dapat menunjukkan keberhasilannya menyatukan kembali umat Islam, hingga dia akhirnya menyerahkan jabatannya pada Mu’awiyah yang sebelumnya telah menyusun kekuatan besar untuk menentang pemerintahan Ali. Hasan kemudian wafat diracun oleh istrinya, Jadah yang menurut dugaan orang diperintah oleh Mu’awiyah.

Catatan sejarah yang ada, menunjukkan bahwa Islam berkembang pesat pada kekhalifahan Dinasti Umayah. Pada Masa kekhalifahan Mu’awiyah ada beberapa perubahan kebijakan, yakni ibukota pemerintahan dipindah dari Madinah ke Damaskus, serta system khalifah dalam Islam dirubah menjadi system kerajaan (mulkiyat) dengan mewariskan jabatan kepada putranya Yazid bin Mu’awiyah. Hal ini yang menjadi perdebatan besar, karena para ulama sepakat bahwa Yazid berperilaku jauh dari nilai-nilai Islam. Sebagian besar ulama dan sejarawan menggambarkan Yazid sebagai seorang asusila yang bergaya hidup mewah dan menuhankan hawa nafsunya untuk mabuk-mabukan. Yazid menjadi symbol kembalinya zaman pra-Islam (jahiliyah), dan tidak pantas mendapatkan posisi sebagai khalifah. Setelah Mu’awiyah wafat, Yazid mengangkat diri sebagai khalifah dan meminta bai’ah kepada seluruh umat Islam, terutama Husain putra Ali (adik Hasan) dan para pengikutnya karena dengan bai’ah Husain maka statusnya sebagai khalifah akan sah.

Tragedi Karbala

Melihat perilaku Yazid dan pengikut setianya yang tidak pantas menjadi pemimpin Islam, Husain dengan tegas menolak untuk membai’at Yazid dan menentang pemerintahannya. Husain yang pada saat itu tinggal bersama keluarganya di Madinah, kemudian pergi menuju Mekah. Pada saat di Mekah, Husain banyak menerima surat dari penduduk Kufa untuk menjadi pemimpin melawan kekuasaan Yazid yang semena-mena. Namun ternyata Husain dikhianati penduduk Kufa. Ketika Husain menuju Kufa, dia dan 72 orang pengikutnya dikepung oleh pasukan Obaidullah bin Ziyad, gubernur baru Kufa dan juga sebagai kaki tangan Yazid. Husain dan pengikutnya tidak diperbolehkan masuk ke Kufa. Tempat dimana ia terkepung pada saat itu adalah padang karbala atau sahara nainawa. Ditempat itu, selama 3 hari Husain dan pengikutnya mengalami kelaparan karena tidak ada akses pangan akibat kepungan pasukan Ziyad. Ditempat itulah Husain dan para pengikutnya berjihad untuk menegakkan Agama Allah dari tangan-tangan yang telah mengotorinya. Ditempat itu, Husain dan pengikutnya melawan kedzaliman yang terjadi akibat moral dan spiritual umat Islam yang telah rusak. Dan di padang karbala itulah terjadi peristiwa besar dengan terbunuhnya Husain cucu Rasulullah dan para pengikutnya pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah oleh pasukan Ziyad.

Atas peristiwa itu, Husain dianggap sebagai seorang syahid yang paling agung. Baik kalangan Sunni maupun Syiah, keduanya menghormati tanggal 10 Muharram sebagai a yaum shahadat (hari kesyahidan).

Hikmah kesyahidan Husain

Dari tragedi karbala yang terjadi pada 10 Muharram, membuktikan bahwa catatan sejarah bahwa Islam pada zaman bani Umayah hanya pada ranah perluasan wilayah dan perkembangan ilmu pengetahuan, namun moral dan spiritual umat Islam telah terkikis akibat nafsu akan dunia yang berlebihan. Kekuasaan, kekuatan, kekayaan dan pengetahuan menjadi hal yang hendak dicapai dengan melupakan hakikat Islam sebagai agama yang revolusioner. Kecintaan pada perkembangan pengetahuan dan teknologi yang berlebih telah menggerus urgensitas spiritual dan moral, hingga pada akhirnya umat Islam terjatuh pada kehidupan jahiliyah modern.

Banyak kontroversi di kalangan masyarakat mengenal kesyahidan Husain. Haruskah Husain pada saat itu menentang Yazid ? Mengapa Husain tidak mengambil cara yang lebih strategis untuk melawan Yazid ? Apakah sikap Husain membawa dirinya kedalam bahaya yang dibuatnya sendiri ? memang pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari berbagai kalangan.

Husain mencontohkan kepada umat Islam, bahwa perjuangan haruskah melihat siapa kawan dan siapa lawan ?, atau apakah perjuangan serta merta untuk melawan kedzaliman dan menegakkan kebenaran. Yazid mempresentasikan materialisme dan konsumerisme yang lebih mementingkan keduniaan, sedangkan Husain mempresentasikan spiritualisme. Dapat dibedakan antara membahayakan dirinya dengan mengorbankan diri. Husain lebih memilih berjuang melawan kedzaliman dengan syahid di Karbala dan memilih kemenangan abadi yaitu di sisi Allah. Sedangkan Yazid lebih memilih kemenangan sementara dan kekalahan abadi di akhirat.


*Pernah diterbitkan dalam buletin Aufklarung Edisi 05-Sjr/14/Nov pada November, 2014, diterbitkan kembali untuk tujuan pendidikan.

 


Referensi :

Asghar Ali Engineer. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Pustaka Pelajar

Asghar Ali Engineer. 2004. Islam Masa Kini. Pustaka Pelajar

Musthafa Kamal Pasha, dan A. Adabi Darban. 2000. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam; Perspektif Historis dan Ideologis. LPPI UMY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar